Risiko dan bahaya merokok terhadap COVID-19
Memasuki tahun ke-3 pandemi COVID-19, seluruh dunia masih menghadapi tantangan berat dan perubahan besar. Pandemi COVID-19 berdampak cukup signifikan terhadap penurunan kualitas hidup manusia dalam berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun lingkungan (Banarjee et al., 2020; Epifanio et al., 2021). Dampak langsung dari pandemi COVID-19 terjadi di aspek kesehatan, yaitu tingginya jumlah kasus positif dan kematian akibat COVID-19. WHO menyatakan bahwa selama kurang lebih 17 bulan sejak kasus infeksi pertama, COVID-19 sudah menjangkiti lebih dari 220 negara dengan kasus positif berjumlah 160 juta jiwa dengan kematian mencapai 31 juta orang (WHO, 2021).
Salah satu kelompok yang dinilai rentan terinfeksi virus Corona adalah perokok. COVID-19 berbahaya bagi perokok, terutama yang memiliki komorbid seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes dan kanker, karena fungsi paru-paru akan makin menurun, sehingga penderitanya sangat berisiko mengalami sesak napas yang bisa berakibat fatal. Beberapa komplikasi berbahaya akibat COVID-19 yang dapat dialami oleh perokok antara lain adalah Pneumonia, Acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau sindrom gangguan pernapasan akut, dan gagal pernapasan akut.
Penelitian di RS Dr. Saiful Anwar Malang tentang hubungan riwayat merokok dengan derajat keparahan dan mortalitas pada 77 pasien COVID-19 yang dirawat inap didapatkan bahwa 40,25% mengalami gejala ringan-sedang dan 59,7% mengalami gejala berat. Merokok berkaitan dengan risiko COVID berkembang ke derajat berat 4,7 kali lipat (p=0,008) serta mortalitas pada pasien COVID-19 sebesar 2,8 kal (p=0,045) (Listyoko et al, 2020). Stuli lain tentang penggunaan rokok elektrik pada 4000 remaja usia 13-24 tahun, potensi terjangkit COVID-19 5 kali lebih tinggi pada remaja perokok elektrik, 7 kali lebih tinggi pada remaja perokok elektronik sekaligus konvensional (Universitas Stanford, 2020). Oleh karena itu, masa pandemi COVID-19 adalah masa yang tepat untuk berhenti merokok, baik itu rokok konvensional maupun elektrik.
Infografis Rokok dan Pandemi COVID-19
Bagaimana konsumsi rokok di masa pandemi COVID-19?
Di tengah pandemi Covid-19, aktivitas produksi rokok ternyata cenderung mengalami peningkatan, menyesuaikan permintaan pasar, hal ini kemungkinan dikarenakan kebijakan pemerintah untuk penerapan pembatasan keegiatan masyarakat yang membuat masyarakat bekerja dari rumah atau aktivitas ke luar rumah terbatas, sehingga perokok memiliki kesempatan yang luas untuk merokok.
Studi Komnas Pengendalian Tembakau tahun 2020 terhadap 621 responden di 25 provinsi didapatkan bahwa 61,4% bukan perokok lebih percaya bahwa perokok rentan terkena COVID-19 dan hanya 36,4% perokok yang percaya bahwa perokok rentan bergejala COVID-19 parah. Konsumsi rokok masyarakat selama pandemi sebesar 50,2% tidak berkurang dan 15,2% meningkat meskipun pendapatan rumah tangga cenderung turun, intensitas belanja rokok tetap tinggi karena mudahnya akses dan besarnya variasi pilihan rokok yang dijual di pasaran. Sekitar 25% perokok melakukan shifting ke produk rokok yang lebih murah selama pandemi.
Persepsi perokok yang tidak percaya dampak negatif rokok terhadap infeksi COVID-19, menyebabkan konsumsi rokok cenderung tetap. Ketidakpastian sosial-ekonomi disebabkan pandemi dapat memicu masalah psikologis seperti kecemasan, stres dan depresi. Merokok dijadikan jalan keluar untuk mengatasi stres dan memberikan kepuasan sementara (Komnas PT, 2020). Studi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Center for Indonesia s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada Desember 2020 - Januari 2021 bahwa 60% perilaku merokok cenderung tetap, begitu juga dengan jumlah pengeluaran untuk rokok (55%) dan jenis (harga) rokok yang dikonsumsi masih sama (73%).
Tekanan ekonomi selama pandemi tidak berdampak terhadap konsumsi rokok, hasil Susenas selama 3 tahun terakhir mencatat, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk komoditas rokok dan tembakau berada di urutan kedua tertinggi setelah kebutuhan pokok makanan dan minuman jadi. Survey yang dilakukan IDEAS pada 1.013 kepala keluarga miskin di Jabodetabek, Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya pada Januari - Februari 2021 mendapatkan bahwa 77,1% menyatakan tidak menurun konsumsi rokoknya selama pandemi, bahkan meningkat, krisis tidak membuat keluarga miskin mengurangi beban pengeluaran rokoknya. Penghasilan dan daya beli perokok serta harga dan ketersediaan rokok adalah faktor utama yang memfasilitasi konsumsi rokok individu. Sebanyak 73,2% perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokoknya meski kondisi ekonomi menurun, artinya pengeluaran kebutuhan lain yang turun atau bahkan ditiadakan agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama (IDEAS, 2021).
Tantangan pengendalian
Pandemi COVID-19 merupakan perubahan besar bagi kehidupan seluruh penduduk dunia, tidak hanya dari aspek kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi. Pengendalian konsumsi rokok menjadi tantangan selama pandemi, salah satu strategi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok pada masa pandemi adalah strategi fiskal yaitu peningkatan cukai rokok rata-rata sebesar 12% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, Dan Tembakau Iris yang berlaku mulai 1 Januari 2022. Peningkatan tersebut tidak hanya mempertimbangkan isu kesehatan tapi juga ekonomi, "Sehingga rokok menjadikan masyarakat miskin. Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin” disampaikan oleh Menteri Keuangan.
Masalah rokok sudah menjadi epidemi global sebelum adanya pandemi COVID-19, sehingga tidak berdampaknya pandemi COVID-19 terhadap konsumsi rokok menjadi alasan penting untuk mendorong proses revisi PP/109 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan untuk menjadi landasan pengendalian konsumsi tembakau yang lebih komperhensif. Komponen perubahan-perubahan yang dimaksud adalah
- Memperluas peringatan kesehatan bergambar/ Pictorial Health Warning(PHW) dari 40% menjadi 90%,
- Melarang penjualan rokok batangan/eceran,
- Pengaturan rokok elektrik, dan
- Melarang iklan rokok di media teknologi informasi dan luar ruang.
RPP 109/2012 merupakan bentuk komitmen dan hadirnya pemerintah dalam melindungi masyarakat Indonesia dan menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun.
Oleh: Rindu Rachmiaty, S.KM., M.Epid.
Sumber: P2PTM Kemenkes RI